Jumat, 19 Juli 2013

4 Macam Tipe Anak



Menurut Al-Qur’an, ada empat macam tipe anak:

  1. zinatun (perhiasan dunia); diterangkan dalam surat Al-Kahfi ayat 46 yang artinya : Harta benda dan anak pinak itu, ialah perhiasan hidup di dunia dan amal-amal salih yang kekal faedahnya itu lebih baik pada sisi Tuhanmu sebagai pahala balasan, dan lebih baik sebagai asas yang memberi harapan.
  2. qurrotu a’yun (penyejuk mata); yaitu anak yang sholeh/sholeha yang taat pada Allah dan orang tuanya. diterangkan dalam surat Al-Furqon ayat 74 yang artinya : Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
  3. fitnah (ujian);
  4. musuh; diterangkan dalam surat At-Taghabun : 14-15 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.

tipe anak yang manakah kita?semoga kita termasuk tipe anak nomor 1 dan 2 yah :) dan semoga anak-anak kita kelak insya Allah demikian pula..aamin ya Rabb

sumber : Kajian dari Ustadz Oman Suratman pada 1 Mei 2013 yang disampaikan pada ta’lim ibu-ibu Pengajian Mesjid Muhammad Ramadhan, Bekasi :)

Rabu, 17 Juli 2013

10 Wasiat untuk Wanita Sholehah




1. Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah.

Wahai hamba Allah..! jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:Aku mohon ampun kepada Allah! itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku) Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.

- Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.

- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman :”Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita yang mengolok-olokkan(QS. Al Hujurat: 11).

- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda: Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya (HR. Muslim).

- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.

- Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).

- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.

- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).

- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.


2. Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa–apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Azza Wajalla).

3. Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik.

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda: Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya (HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany).

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda: Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali (HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).

4. Bersikap qanaah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak.

Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu anhunna. Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu?? Ia berkata pada suaminya: “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka”

5. Baik dalam mengatur urusan rumah tangga, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya.

Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

6. Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.

Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

7.Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu’anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama: Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).

8. Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.

9. Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dzalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.

10. Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan.

Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya: Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya (HR. Bukhary dalam An-Nikah).

Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya. Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.

Wallahu amlam bish showab…

- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2011/10/15/15788-10-wasiat-untuk-wanita-sholehah.html#sthash.mDw3ns9P.dpuf

Jumat, 12 Juli 2013

Semangat Kaum Salaf dalam Mendidik Anak, Bisakah Kita Meniru Mereka?

Berikut adalah contoh yang memperlihatkan semangat para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallama. Meski jauhnya tempat mereka dan tahu tentang kesulitan di dalam melakukan safar, bahaya yang ada di jalan dan jauhnya jarak perjalanan, namun mereka lebih memilih untuk berpisah dengan buah hati mereka dalam rangka menuntut ilmu, bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak memberikan manfaat untuk diri mereka sendiri lalu untuk Islam dan kaum Muslimin.


Adalah ‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi berkata: “Bapakku memberikan 100 dirham kepadaku dan berkata, ‘Pergilah dan tempuhlah perjalananmu untuk mencari ilmu. Aku tidak mau melihat wajahmu kecuali bersamamu ada 100.000 hadits’. "Berangkatlah ia pergi mencari ilmu. Kemudian dia kembali untuk menyebarkannya, sampai datang ke majelisnya lebih dari 30.000 orang. Al-Mu’tamir bin Sulaiman berkata". Bapakku menulis surat kepadaku, ketika aku berada di Kuffah, "Belilah lembaran-lembaran dan tulislah ilmu, karena harta itu akan lenyap dan ilmu akan abadi’.”

Berikut pesan Ibnu Al-Wardi kepada puteranya di dalam Laamiyah beliau yang terkenal, yang juga merupakan pesan bagi setiap anak setiap penuntut ilmu, meski hari dan tahun silih berganti.

Wahai anakku! Dengarkanlah beberapa wasiat yang menghimpun banyak hikmah, yang dikhususkan dengannya sebaik-baik agama Carilah ilmu dan janganlah malas, betapa jauhnya kebaikan bagi orang yang malas Berkumpullah untuk memahami agama, dan janganlah kamu disibukkan dengan harta dan kekayaan Tinggalkanlah tidur dan dapatkanlah ilmu, maka barangsiapa tahu apa yang dicari, akan meremehkan apa yang dia keluarkan Jangan kamu katakana bahwa para pemilik ilmu telah hilang pasti akan sampai setiap yang melangkah di atas jalan.

Dahulu para ahli hikmah berkata, "Barangsiapa menjadikan dirinya begadang di waktu malam, berarti telah mejadikan hatinya bahagia di waktu siang."

Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir.”

Inilah beberapa gambaran cemerlang tentang semangat orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, mengawasi dan menganjurkan mereka untuk mencari ilmu. Karena sesungguhnya tidak akan berpaling dari menuntut ilmu dan meremehkannya kecuali orang bodoh yang tidak mengetahui kebaikan agama dan dunianya. Sebagaimana perkataan Al-Imam Ahmad, “Tidak akan patah semangat untuk mencari ilmu kecuali orang yang bodoh.”

Ibnu Al-Jauzi berkata memberikan pesan kepada anaknya dan menganjurkannya untuk sibuk mencari ilmu, “Ketahuilah bahwa ilmu akan mengangkat orang-orang yang rendah kedudukannya. Sungguh banyak dari kalangan ulama yang tidak mempunyai nasab yang terkenal maupun rupa yang tampan. “

Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.”

Al-Hasan adalah seorang bekas budak, juga Ibnu Sirrin Makhul dan banyak lagi lainnya. Mereka dimuliakan tidak lain karena ilmu dan ketakwaan.

Ahmad bin An-nadhar Al-Hilali berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Dahulu aku berada di majelis Sufyan bin ‘Uyainah, lalu beliau melihat anak kecil yang masuk ke adalam masjid. Orang-orang yang berada di dalam majelis meremehkannya karena masih kecil umurnya, maka Sufyan berkata, “Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atasmu.” (An-Nisa’: 94) Kemudian berkata, “Wahai Nadhar! Seandainya kamu melihat aku dahulu ketika berusia sepuluh tahun. Tinggiku lima jengkal. Wajahku seperti uang dinar. Aku seperti kayu bakar. Bajuku kecil dan lengan bajuku pendek. Bekas langkahku banyak dan sandalku seperti telinga tikus. Aku bolak-balik pergi ke tempat para ulama di berbagai penjuru seperti Az-Zuhri dan ‘Amr bin Dinar. Aku duduk di antara mereka seperti paku. Tempat tintaku seperti anggur kuning, tempat penaku seperti pisang dan penaku seperti buah badam. Jika aku masuk ke majelis, mereka berkata ‘Lapangkanlah tempat duduk untuk syaikh kecil.’ Bapakku berkata, ‘Kemudian Ibnu ‘Uyainah tersenyum dan tertawa.’ Ahmad berkata, ‘bapakku pun tersenyum dan tertawa’.”

Alasan Sufyan Ats-Tsauri lebih awal untuk menuntut ilmu dan sibuk dengannya adalah karena dorongan semangat dari ibunya, dan anjuran terhadapnya untuk menuntut ilmu serta arahan darinya agar mengambil faedah dari apa yang telah diketahui dan dari bermajelis dengan para ulama. Ilmunya juga harus memberikan pengaruh pada akhlak dan tingkah laku serta pergaulannya bersama manusia. Jika tidak maka apa manfaat ilmu?

Sang ibu berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, mendorongnya untuk pergi ke halaqah-halaqah ilmu dan duduk bersama para syaikh, “Wahai anakku! Ambillah, ini sepuluh dirham. Pelajari sepuluh hadits. Jika kamu dapatkan bisa mengubah cara duduk, berjalan, dan bicaramu bersama manusia, maka datanglah kepadanya dan aku akan membantumu dengan hasil tenunanku ini. Jika tidak maka tinggalkanlah. Karena aku takut dengan ilmu itu akan menjadi malapetaka bagimu di hari kiamat.”

Sang ibu bekerja keras demi menafkahi anaknya, sehingga sang anak benar-benar mencurahkan waktunya untuk menimba ilmu. Sementara ibunya senantiasa memberikan pesan dan nasihat di sela-sela kesibukan anaknya menimba ilmu. Suatu kali ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-imam Ahmad: “Wahai anakku, jika kamu menulis 10 huruf, maka lihatlah! Engkau amati, bertambahkah rasa takutmu (kepada Allah Azza wa Jalla), sikap santun, dan kedewasaanmu (kewibaanmu)? Jika tidak, maka hal itu akan memberi mudharat dan tidak membawa manfaat bagimu.”

Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada anaknya ketika sedang mendidiknya, “Wahai anakku! Jika kamu duduk bersama para ulama, jadilah kamu lebih semangat untuk diam daripada untuk berbicara belajarlah cara mendengar yang baik. Janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang, sampai dia sendiri yang berhenti.”

Al-Imam Malik bercerita: “Aku berkata pada ibuku, ‘Bolehkah aku pergi untuk menulis ilmu?’ Ibuku menjawab, ‘Kemarilah, pakailah baju ilmu’. Beliau memakaikan untukku baju berkancing, meletakan songkok di atas kepalaku dan memakaikan sorban untukku di atasnya, kemudian berkata, ‘Berangkat dan tulislah sekarang. Pergilah ke Rabi’ah, pelajari adabnya sebelum ilmunya’.” =======================================================

Tuturan di atas adalah sedikit dari contoh dan gambaran yang cemerlang dari perjalanan hidup kaum salaf yakni dara kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhuma dan para generasi setelah mereka dari kalangan ahli ilmu rahimahumullahu Ta’ala dalam hal pendidikan anak. Contoh-contoh tersebut semestinya membangkitkan decak kagum dalam lubuk jiwa kita.

Ketika kita prihatin bahwa sebagian anak-anak kita pada usia belasan tidak bisa berwudhu’ dengan benar, tidak mengerti kewajiban shalat berjama’ah, tidak pula hafal satu hadits dari hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alayhi wasallama. Menyayat hati dan menjadikan mata berlinang adalah ketika melihat pemuda-pemuda umat pada usia seperti itu, mereka tidak mencari ilmu dan tidak baik akhlaknya. Mereka terbawa oleh berbagai permainan yang melalaikan.

Media-media berupa tontonan dan gambar-gambar yang merusak. Dan akhirnya kita menemukan mereka ketika telah dewasa dan dalam keadaan minder terhadap agama mereka sendiri. Wallahul Musta’an. Ketika kita prihatin memperhatikan keadaan anak-anak muda zaman sekarang berupa kebandelan dan kenakalan dan juga melihat kelalaian serta bodohnya pihak orang tua, lalu bandingkan dengan keadaan kaum salafush shalih.

Namun janganlah berputus asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mampu memperbaiki keadaan kaum salaf, Maha Mampu untuk memperbaiki keadaan orang-orang yang datang kemudian. Umat ini bagaikan siraman hujan, kebaikan terdapat pada awalnya, tengah-tengahnya dan penghujungnya. Oleh karena itu –setelah taufiq dari Allah- ada ditangan kita. Hal itu dapat digapai jika kita melakukan berbagai upaya. Kita berupaya untuk mencari terapi penyembuhannya, membenahi kesalahan dan meluruskan kebengkokan. Wahai para ayah dan ibu, singsikan lengan kesungguhan dan usahakan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak, serta curahkanlah segenap kemampuan dan daya upaya untuk melakukannya.

Maka bisakah kita meniru mereka?

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21) Dari Abdullah ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhumua, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallama bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.” (Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, hal.48)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Pelajarilah oleh kalian ilmu, karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah khasy-yah; mencarinya adalah ibadah; mempelajarinya dan mengulangnya adalah tasbiih; membahasnya adalah jihad; mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah; memberikannya kepada keluarganya adalah pendekatan diri kepada Allah; karena ilmu itu menjelaskan perkara yang halal dan yang haram; menara jalan-jalannya ahlul jannah, dan ilmu itu sebagai penenang di saat was-was dan bimbang; yang menemani di saat berada di tempat yang asing; dan yang akan mengajak bicara di saat sendirian; sebagai dalil yang akan menunjuki kita di saat senang dengan bersyukur dan di saat tertimpa musibah dengan sabar; senjata untuk melawan musuh; dan yang akan menghiasainya di tengah-tengah sahabat-sahabatnya..” 

Dikutip dari Terjemah Warotsah Al-Anbiya “Pewaris Para Nabi” oleh ‘Abdul Malik bin Muhammad Al-Qosim, Penerbit: Cahaya Ilmu Press & Terjemah At-taqshiir fii Tarbiyati Al-Aulaad “38 Kesalahan Mendidik Anak” oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd Penerbit: Pustaka Ar-Rayyan serta tambahan lainnya dari berbagai sumber

Rabu, 10 Juli 2013

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?


Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.

Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)

Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)

Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”

Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Maroji’:

1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427/April 2006

Senin, 08 Juli 2013

3 Gaya Wanita yang Tidak Mencium Bau Surga


Ada tiga gaya, penampilan atau mode yang membuat wanita muslimah diancam tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian. Di antara penampilan yang diancam seperti itu adalah gaya wanita yang berpakaian namun telanjang. Yang kita saksikan saat ini, banyak wanita berjilbab atau berkerudung masih berpenampilan ketat dan seksi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Artinya:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” 
[HR. Muslim no. 2128]

Dalam hadits di atas disebutkan beberapa sifat wanita yang diancam tidak mencium bau surga di mana disebutkan,

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

Yaitu para wanita yang: (1) berpakaian tetapi telanjang, (2) maa-ilaat wa mumiilaat, (3) kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Apa yang dimaksud ketiga sifat ini?

Berikut keterangan dari Imam Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim.

(1) Wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Ada beberapa tafsiran yang disampaikan oleh Imam Nawawi:

1- wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

2- wanita yang menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian lainnya.

3- wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan warna badannya.

(2) Wanita yang maa-ilaat wa mumiilaat

Ada beberapa tafsiran mengenai hal ini:

1- Maa-ilaat yang dimaksud adalah tidak taat pada Allah dan tidak mau menjaga yang mesti dijaga. Mumiilaat yang dimaksud adalah mengajarkan yang lain untuk berbuat sesuatu yang tercela.

2- Maa-ilaat adalah berjalan sambil memakai wangi-wangian dan mumilaat yaitu berjalan sambil menggoyangkan kedua pundaknya atau bahunya.

3- Maa-ilaat yang dimaksud adalah wanita yang biasa menyisir rambutnya sehingga bergaya sambil berlenggak lenggok bagai wanita nakal. Mumiilaat yang dimaksud adalah wanita yang menyisir rambut wanita lain supaya bergaya seperti itu.

(3) Wanita yang kepalanya seperti punuk unta yang miring

Maksudnya adalah wanita yang sengaja memperbesar kepalanya dengan mengumpulkan rambut di atas kepalanya seakan-akan memakai serban (sorban). (Lihat Syarh Shahih Muslim, terbitan Dar Ibnul Jauzi, 14: 98-99).

Mode Wanita Saat Ini …

Ada beberapa gaya yang bisa kita saksikan dari mode wanita muslimah saat ini yang diancam tidak mencium bau surga berdasarkan hadits di atas:

1- Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga kelihatan warna kulit.

2- Wanita yang berpakaian tetapi telanjang karena sebagian tubuhnya terbuka dan lainnya tertutup.

3- Wanita yang biasa berhias diri dengan menyisir rambut dan memakerkan rambutnya ketika berjalan dengan berlenggak lenggok.

4- Wanita yang menyanggul rambutnya di atas kepalanya atau menambah rambut di atas kepalanya sehingga terlihat besar seperti mengenakan konde (sanggul).

5- Wanita yang memakai wangi-wangian dan berjalan sambil menggoyangkan pundak atau bahunya.

Semoga Allah memberi petunjuk pada wanita muslimah untuk berpakaian yang sesuai petunjuk Islam. Karena penampilan seperti ini yang lebih menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.

Sumber:
3 Gaya Wanita yang Tidak Mencium Bau Surga http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/4401-3-gaya-wanita-yang-tidak-mencium-bau-surga.html

Rabu, 03 Juli 2013

Tabarruj


Pagi ini pandanyonyo akan sharing tentang #tabarruj di timeline twitter-nya pandanyonyo +Pandanyonyo pandanyonyo :D pantengin yah sobat :D

#tabarruj secara bahasa diambil dari kata al-burj (bintang, sesuatu yang terang, dan tampak)
#tabarruj : berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti: kepala, leher, dada, dan anggota tubuh lainya dan jewelry

#tabarruj menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya yang mana dapat memancing syahwat (hasrat) laki-laki (imam asy-syaukani)

bukankah Allah telah berfirman dalam QS Al-Ahzaab ayat 33:


وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ 
الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا 

Artinya:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu …” #tabarruj

#tabarruj sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian merupakan kebiasaan wanita-wanita jahiliyah yang dahulu..naudzubilah


Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan sebab-sebab terjadinya keburukan bagi para wanita..dan #tabarruj merupakan salah satu penyebab terjadinya keburukan bagi para wanita..

ayo muslimah sholeha, makin dijaga yah dirinya :) karena kita begitu berharga :D say no to #tabarruj

sumber : Taisiirul Kariimir Rahmaan karya Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di, tema : #tabarruj
image : http://darkened-eyes.blogspot.com/2013/06/what-is-tabarruj_2.html

Selasa, 02 Juli 2013

Menjual Diri

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Sangat manusiawi sekali bahwa manusia selalu mengalami pasang surut perasaan dan keimanan. Orang yang memiliki persoalan kejiwaan seperti itu biasanya hidupnya resah dan gelisah, tidak mampu memaknai kehidupan, apalagi menjaga kehidupan. Baik kehidupan orang lain maupun kehidupan dirinya. Akibatnya, dia bisa dengan mudah menghilangkan nyawa orang lain atau mengakhiri hidupnya sendiri (bunuh diri). Himpitan ekonomi termasuk salah satu faktir dari penyebab terjadinya bunuh diri. Namun, sebenarnya tidak demikian. Justru faktor bunuh diri terbanyak bukan dimiliki oleh negara-negara miskin.

Berikut data yang penulis dapatkan dari terrific-top10.com tentang 10 negara terbanyak yang melakukan bunuh diri :
10. Slovenia 
9. China
8. Latvia
7. Japan
6. Hungaria
5. Belarusia
4. Kazakhstan
3. Guyana
2. Korea Selatan  
1. Lithuania 

Dari data yang penulis dapatkan, terlihat bahwa bunuh diri tidak melulu menjadi "problem-solver" bagi rakyat miskin. Bunuh diri juga dilakukan oleh presiden, penyanyi, militer, orang-orang yang tidak puas dengan negaranya, orang-orang yang bekerja terlalu keras dalam pekerjaannya dan sebagainya.  Korea Selatan, raksasa ekonomi saat ini tentu tingkat kesejahteraan materi masyarakatnya amat baik. Namun, ternyata untuk menggapai kebahagiaan, jiwa manusia tidak terbeli oleh apa pun dan tidak bisa dijual kepada siapa pun. Jiwa kita hanya terbeli dengan harga yang amat tinggi manakala dijual kepada Allah. Hanya Allah yang dapat membayar mahal jiwa kita dan sekaligus memuliakan serta membahagiakannya. Dengan demikian, kita akan merasakan makna kehidupan dan kehidupan bermakna.

وعَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِيِّ ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ ، أَوْ تَمْلأُ ، مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ ، وَالصَّلاَةُ نُورٌ ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو ، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا ، أَوْ مُوبِقُهَا.


Artinya:
Dari Abu Malik Al-Asy'ari r.a. dia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Bersuci itu separuh keimanan, (ucapan) Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, (ucapan) Subhanallah (Mahasuci Allah) dan Alhamdulillah memenuhi antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah pembuktian, sabar adalah sinar, Al-Quran adalah argumen yang mendukung atau melawanmu. Setiap manusia pergi (bergerak) lalu menjual dirinya. Ada yang memerdekakannya atau membinasakannya." 
[H.R. Muslim]


Rasulullah Saw. menyatakan dalam hadits yang disebutkan tadi bahwa setiap manusia pasti menjual dirinya. Ada yang memerdekannya atau membinasakannya. Setiap manusia tanpa kecuali pasti akan bergerak, bertransaksi, dan menjual diri. Apakah kemudian dia bahagia atau sengsara, bergantung kepada siapa dirinya dijual. Jika dijual kepada Allah, beruntunglah bisnisnya. Sebaliknya, jika dijual kepada selain Allah, rugilah dia dan hancurlah kehidupannya. Selain Allah itu bisa manusia, harta, jabatan, popularitas, atau tujuan duniawi lainnya.
Wallahualam bishshawab...